Senin, 27 September 2010

PENAFSIRAN Supersemar adalah ”penyerahan atau pengalihan kekuasaan” diyakini oleh pembawa naskah itu sendiri, Jenderal Amirmachmud cs. ”Lho , ini kan penyerahan kekuasaan” demikian Amirmachmud dalam perjalanan mobil sepulang dari istana Bogor membawa Supersemar itu. Ketika Sudharmono dan Moerdiono kesulitan mencari dasar hukum bagi pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), mereka bergembira setelah tahu keluar Supersemar.

Padahal, Presiden Soekarno menegaskan Supersemar itu hanya untuk bidang teknis keamanan, bukan politis keamanaan. Dan kerancuan pun segera menggelombang apalagi setelah Supersemar di-Tap MPRS-kan. Pertama, sudah jelas yang paling mengerti isi sebuah perintah tentu saja ya subjek pemberi perintah itu sendiri. Adalah janggal jika orang lain, bahkan yang diberi perintah sebagai figur terpercaya oleh yang memerintah, berpretensi lebih mengerti isi perintah.

Kedua, pada umumnya ahli hukum Tata Negara, terutama Dahlan Ranuwihardja SH, anggota MPRS, sangat heran kenapa executive order diubah begitu saja sebagai Tap MPR(S) tanpa bertanya dulu kepada pemberi perintah. ”Jadi enggak bisa dong MPR (S) melakukan sesuatu yang bukan wewenangnya.

Bukan hanya keliru memahami, Jenderal Soeharto sebagai pengemban Supersemar sengaja menyalahgunakan sebagai mandat politik dengan membubarkan PKI betapapun langkah itu secara kondisional adalah tepat. Karena itu, Presiden Soekarno terkejut dan marah dengan langkah Soeharto. Presiden lantas mengeluarkan SP 13 Maret 1966, yang tidak banyak diketahui umum dan generasi baru berhubung Soeharto dan rezim sengaja menyembunyikannya. Autobiografi Soeharto pun tidak pernah secuil pun mengatakannya.

SP 13 Maret itu dibawa oleh Waperdam II Leimena dan Brigjen KKO Hartono kepada Soeharto yang sesudah membacanya, Soeharto menyatakan pembubaran PKI itu adalah tanggung jawabnya sendiri. SP 13 Maret terdiri atas tiga hal yakni:a) mengingatkan bahwa SP 11 Maret itu sifatnya teknis/administratif, tidak politik, semata-mata adalah perintah mengenai tugas keamanan bagi rakyat dan pemerintah, untuk keamanan dan kewibawaan Presiden/Pangti/Mandataris MPRS; b) bahwa Jenderal Soeharto tidak diperkenankan melakukan tindakan-tindakan yag melampaui bidang politik, sebab bidang politik adalah wewenang langsung presiden, pembubaran suatu partai politik adalah hak presiden semata-mata; c) Jenderal Soeharto diminta datang menghadap presiden di Istana untuk memberikan laporannya (D & R, 12 September 1998).
Menghendaki Kekuasaan
Terlebih dulu dapat dirunut betapa Soeharto sesungguhnya berkepentingan benar terhadap keluarnya Supersemar; atau dengan kata lain mengehendaki sesuatu kekuasaan sebagaimana kesaksian Jenderal Kemal Idris, Jenderal Mursjid, Jenderal Soemitro dan Ketua RT tempat kediaman Soeharto sekaligus kolega baiknya, yakni Mashuri SH, yang kelak diberi jabatan menteri dan terakhir Wakil Ketua MPR/DPR.

Jenderal Soeharto mengatakan, pada minggu kedua sebelum 11 Maret, rapat Staf Umum AD yang dipimpin Jendeal Soeharto memutuskan untuk memisahkan Bung Karno dari ”Durna-Durna”-nya dan para Durna akan ditangkap oleh RPKAD. Itulah yang kemudian mewujud dalam fenomena ”pasukan tak dikenal”, mengepung istana pagi hari saat Sidang Kabinet 11 Maret 1966, yang membuat Bung Karno diterbangkan ke Bogor.

Ketika kejadian itu dilaporkan kepada Soeharto, menurut Kemal Idris, maka Soeharto menulis pesan kepada Bung Karno yang dibawa Amirmachmud cs ke Istana Bogor. Isi pesannya, ”Saya tidak akan bertanggung jawab kalau saya tidak diberi kekuasaan untuk mengatasi keadaan ini.” (D&R, 12 September 1998).

Adapun Jenderal Mursyid, Asisten Menpangad Jenderal A Yani lebih tegas menyatakan Soekarno itu dikudeta dalam konteks bertemunya kepentingan pihak luar --Amerika cs-- dan pihak dalam negeri. Mursjid berbeda pendapat dengan analisis kudeta itu berjalan ”merangkak-rangkak” dengan tonggak-tonggak pokok: 1 Oktober atau G-30-S/PKI; 11 Maret 1966 dan penolakan pidato Presiden Nawaksara/Pelengkap Nawaksara.

”Saya tetap berpegang bahwa 1 Oktober kudetanya. Formalnya, terjadi pada tanggal 11 Maret dengan Supersemar, yang dikoreksi BK pada 13 Maret. Dengan kata lain, tanggal 1 Oktober merupakan langkah-langkah ke arah 11 Maret itu. Itulah aibnya Soeharto, ia ambil kekuasaan dengan paksa”, (Tajuk, 1-17 September 1998). Namun demikian ia tidak melihat Soeharto ”dalang” kejatuhan Bung Karno, bukan orang pertama dan orang tunggal.

Dalam pada itu, Mashuri SH menyatakan bahwa kejatuhan Bung Karno itu bukan creeping coup d'etat atau ”kudeta merangkak”, melainkan memang kudeta. ”Itu jelas kudeta, tidak pakai merangkak-rangkak. Jadi orang mengatakan sidang Nawaksara di sana itu dihabisi Soekarno, itu tanggal 11 Maret sudah terjadi kudeta. Jadi Soeharto mengepung istana dan Bung Karno terbang ke Bogor itu sudah kudeta. Begini saya pernah bilang pada Ruslan (Abdulgani?). Sidang MPRS Nawaksara itu hanya sebagai ijab kabul, tapi sebelum menyampaikan harus menghadap penghulu dulu, penghulunya ya, Sebelas Maret itu,” (Gema Reformasi, September 1998).
Rekonstruksi
Tampaklah bahwa SP 11 Maret, sekaligus SP 13 Maret sebagai satu kesatuan perintah presiden membutuhkan rekonstruksi. Bukan hanya rekonstruksi, malahan suatu dekonstruksi pun perlu mengingat begitu besarnya kontroversi-- di antaranya yang pokok peranan Jenderal Soeharto pada khususnya dan Angkatan Darat pada umumnya.

Ben Anderson, ahli ilmu politik Cornell University yang dimusuhi rezim Orde Baru misalnya menyebutkan Supersemar cuma langkah terakhir dari serangkaian strategi. Adapun langkah awalnya menurut dia adalah di sekitar 1964 saat ”geng Soeharto” membuka jalan rahasia langsung ke Malaysia, Inggris dan Amerika di luar jalur Nasution dan Yani --saat itu Soeharto adalah panglima dengan tugas konfrontasi terhadap Malaysia.

Saat-saat itulah Benny Moerdani dan Ali Moertopo --yang disebutnya anggota ”geng” tadi justru membuka jalur sendiri ke Washington dengan memakai orang-orang eks-PRRI, Des Alwi cs. ”Ini ada buktinya. Data-datanya saya ada di Amerika. Nah, kalau mereka tidak berambisi untuk posisi paling atas, untuk apa itu. Itu jelas semacam pengkhianatan terhadap politik yang ada waktu itu,” demikian Anderson, yang Cornell Paper-nya untuk G-30-S/PKI berseberangan dengan Buku Putih pemerintah Orde Baru (Detak, 9-15 Maret 1999).

Karena itu bisa dimengerti adanya suatu analisis, betapapun Soeharto dan Nasution mempunyai pertentangan khususnya ketika selaku Pangdam Diponegoro Soeharto dicopot atas kasus dagang dan penyelundupan; sewaktu pasca-G-30-S/PKI mereka dipertemukan oleh adanya musuh bersama, yakni: Soekarno dan para pendukung setianya semisal Soebandrio dan Chaerul Saleh, serta PKI yang saat itu dikambinghitamkan sebagai satu-satunya dalang dan penggerak G-30-S. (Detak, 2-8 Maret 1999).

Dalam hubungannnya dengan hilang atau dihilangkannya SP Maret itu sendiri, boleh jadi versi yang paling mendekati kebenaran ialah kesengajaan Soeharto dan ”geng”nya untuk kurang beritikad baik. Pertama, Soeharto tidak melaksanakan dengan baik perintah untuk :menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan presiden serta melaksanakan dengan pasti segala ajaran pemimpin besar revolusi; yang secara eksplisit diperintahkan dalam SP 11 Maret.

Kedua, kesaksian Soebandrio membenarkan bahwa dalam naskah asli SP 11 Maret sebenarnya ada tertera point:setelah keadaan terkendali Supersemar diserahkan kembali kepada Presiden Soekarno. Hal ini dikuatkan oleh Kemal Idris, ”Itu biasanya kalau ada surat perintah untuk melaksanakan tugas dan kalau sudah selesai ya harus lapor. Kewenangannya ya harus ditarik. Tapi itu tidak dilaksanakan oleh Soeharto, seolah-olah surat itu hilang dan dia mempergunakan itu untuk mendapatkan kekuasaannya sendiri.” (Detak, 2-8 Maret 1999). Tak mengherankan bagi Soeharto dan kelompoknya, SP 13 Maret perlu makin disembunyikan-lebih dari SP 11 Maret. (35)

–– Drs Slamet Sutrisno MSi, dosen Sejarah Pergerakan Nasional di Fakultas Filsafat UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar